sekarang siapa menanti fajar dengan kesabaran
akan menemukan fajar dengan kekuatan
barang siapa mencintai cahaya akan di cintai cahaya (Kahlil Gibran)
KALANGAN muslim spanyol menorehkan catatan paling mengagumkan dalam sejarah intelektual pada abad pertengahan (mediavelis) di Eropa. Antara pertengahan abad ke-8 dan ke-13. Orang orang yang berbicara dengan bahasa Arab adalah para pembawa obor kebudayaan dan peradaban penting yang menyeruak menembus seluruh pelosok dunia. Selain itu mereka juga merupakan wasilah perantaraan yang menghubungkan ilmu dan filsafat yunani klasik sehingga khazanah kuno itu di temukan kembali.
Tak hanya menjadi mediator mereka juga memberikan beberapa penambahan dan proses transmisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan lahirnya pencerahan di Eropa Barat. Dalam semua proses tersebut bangsa arab-spanyol mempunyai andil yang sangat besar.
Di antara pencapaian yang telah mereka peroleh adalah dalam ranah pemikiran filsafat dan tasawwuf yang merupakan rantai yang paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan antara filsafat yunani ,timur dan latin barat, pencapaian mereka semakin kokoh dan di akui terutama dalam kontribusi mereka yang telah berhasil melakukan upaya mengkompromikan antara wahyu, akal dan intuisi serta agama dan ilmu pengetahuan. Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim spanyol abad pertengahan dalam ranah fisafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu thufail yang merupakan tokoh filosuf muslim neo-platonis spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan dinasti muwahhidun.
Namanya adalah Abu bakr Muhammad bin Abd al malik ibn Muhammad ibn Thufail al Qaisi di nisbahkan kepada qobilah Qais yang yang merupakan qobilah termasyhur pada saat itu Beliau di lahirkan pada abad 12 di lembah khushoib yang jauhnya sekitar 60 km dari Granada sebagaimana kalangan islam pada masa itu dia belajar lebih dari satu bidang keilmuan meliputi filsafat, kedokteran, matematika, kosmologi, sastra dan sufisme dari beberapa ulama islam pada masanya hingga akhirnya berhasil mencapai keahlian dalam bidang kedokteran sehingga di percaya sebagai dokter pribadi oleh abu ya’qub yusuf al manshur (1163-1184) yang merupakan khalifah dinasti Muwahhidun saat itu, dan beliau wafat pada tahun 1185 di ibukota muwahhidun, Maroko.
Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif ibnu thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang di beri nama hay bin yaqdhan (hidup anak kesadaran, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi) dan hasil karyanya ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana bahasa tersebut hanya di gunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiyah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah menterjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni vico dolla Mirandolla (Abad 15).
Kemudian yang paling terkenal adalah Edward pockoke yang memberi tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut di tujukan sebagai apresiasinya terhadap ibnu thufail, pada masa selanjutnya karya ini juga telah di terjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. yang di dasarkan pada edisi bahasa latin diantararanya adalah Simon Ockley yang menerjemahkanya dalam Bahasa Inggris: The Improvement of Human Reason (1708) kemudian disusul oleh edisi barunya dengan judul The History of Hayy ibn Yaqzhan (1926) dan di terjemahkan pula oleh Leon Gauthier ke dalam Bahasa Prancis di sertai dengan teks arabnya Hayy Ben Yaqdhan Roman Philosophique d’ibn Thofail di samping kemudian telah di terjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Rusia, Belanda dan lain lain.
Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut disebut oleh ibnu thufail sebagai hay bin yaqdhan (hidup anak kesadaran) yang kemudian hari di ambil anak oleh seekor kijang dan di besarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun hay bin yaqdhan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut karena berbeda dengan dirinya hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya hal tersebut membuat hay bin yaqdhan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati, sampai pada suatu saat matilah kijang yang mengasuhnya yang mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup.
Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang di seliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku maka hay bin yaqdhan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir…selain dari pada itu pada suatu hari hay bin yaqdhan menyalakan api di pulau tersebut maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas tidak cukup dengan itu ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Dan hay bin yaqdhan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan….dan yang di maksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” ( haadist) yang berarti di dahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan di sebut sebagai creatio ex nihilo), dan setiap yang baru mengharuskan adanya yang mengadakan dan hipotesa ini akhirnya membawa hay bin yaqdhan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta (The Creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.
Kemudian hayy bin yaqdhan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulamg-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang , tidak cukup dengan itu hay bin yaqdhan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah apa2 yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaannya maka tampaklah karakter Tuhan sebagai Eksistensi yang Maha sempurna (The Perfect One) lagi kekal (Eternal) dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin yaqdhan pada umurnya yang ke 35…dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal(reason), ruh(spirit) dan jiwa(nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani ( tajalliyaat ) sang wajibul wujud (the necessary being).
Sampai pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia bernama Asal….seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhud) yang datang dari negri yang jauh untuk beribadah,bertapa dan berkontemplasi , maka bertemulah Asal dengan Hayy bin yaqdhan . dan Hayy bin yaqdhan pun mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama ( Al asmaa’ kulluhaa ) dan kebenaran-kebenaran wahyu ( syariat ). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Asal . dan melalui interaksinya dengan Hayy maka Asal pun tahu bahwa apa yang telah di capai Hayy dengan akalnya secara mandiri tanpa bantuan yang lain itu ternyata mempunyai kesinambungan dengan apa yang telah di bawa oleh nabi-nabi .
Dan kemudian Asal pun membawa Hayy bin yaqdhan kepada kaumnya , dan mulai berorasi dan memperingatkan kaumnya( sebagaimana para nabi) dengan apa-apa yang telah ia lihat dan dapatkan dari pengalamannya tentang kesejatian hidup, keremehan harta benda dan pentingnya merenungi tanda-tanda kekuasaan Sang pencipta tetapi ia terlalu vulgar dalam penyampainnya sehingga kaumnya pun menghindarinya karena menganggapnya menyimpang dari pemahaman literar matan matan kudus wahyu. akhirnya Hayy bin yaqdhan berpaling kepada Asal dan berkata bahwa nabi-nabi lebih tahu tentang jiwa-jiwa manusia dari pada dirinya dan pelajaran-pelajaran dan pengalaman yang ia capai ketika masih hidup di pulau bersama hewan-hewan itu lebih tinggi dan adi luhung dari fase manusia yang ia hadapi sekarang. Dan akhirnya Asal pun menemani Hayy bin yaqdhan hidup bersama-sama dengannya beribadah dan merenung sampai maut menjemput mereka.
Orisinalitas Ibnu Thufail dan hubungannya dengan para filosuf
Banyak kalangan terpelajar yang melakukan kajian terhadap Ibnu Thufail berasumsi bahwa apa yang telah di capai oleh Ibnu Thufail dalam pemikiran filsafat mempunyai keterkaitan dengan para filosuf pendahulunya, sebagian berasumsi bahwa ia terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Bajah, sebagian lagi beranggapan bahwa pemikirannya memiliki keterpengaruan terhadap filsafat Al Farobi, sedang sebagian yang lain memiliki kecurigaan kuat bahwa Ibnu Thufail merupakan murid otentik terhadap pemikiran-pemikiran Ibnu Sina bahkan menduga bahwa sesungguhnya ia telah mengambil “kalau tidak bisa di katakan memplagiat” segala sesuatunya dari Ibnu Sina sampai kepada nama tokoh-tokoh dan karakter dalam roman filsafatnya, sedangkan yang lain ada juga yang berpendapat bahwa ia terpengaruh kepada Al Ghozali sampai kepada pendapat yang mengatakan tentang keterkaitan pemikirannya terhadap pengaruh filsafat Hindia, Persia dan Yunani.
Tetapi kalau kita teliti lebih dalam karyanya akan kita dapati bahwa sesungguhnya Ibnu Thufail dalam pemikiran fisafatnya merupakan pribadi yang independent dan memiliki orisinalitas dan keistimewaan tersendiri, untuk melepaskan Ibnu Thufail dari tuduhan para kritikus yang menuduh Ibnu Thufail telah melakukan pengekoran terhadap para filosuf pendahulunya Sheikh Al azhar terdahulu Dr. Abdul halim mahmud dalam bukunya Ibnu Thufail Wa Falsafatuhu ( Ibnu Thufail dan Filsafatnya ) telah memberikan penjelasan yang cukup argumentatif yang dalam hal ini akan penulis beberkan secara ringkas sebagai berikut :
Adapun bukti yang memperlihatkan indepedensi Ibnu Thufail dari pengaruh Al Farobi dapat kita baca dari sikap Ibnu Thufail sendiri terhadap Al Farobi yang mana ia telah memproklamirkan secara terang-terangan bahwa pemikiran yang terkandung dalam karya-karya Al Farobi penuh dengan skeptisisme ( kastrah assyukuuk ) kemudian memberikan contoh dengan pendapat Al Farobi yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya terdapat dalam dunia material yang kita tempati sekarang ini ( addaar addunya ) lalu mengkritiknya dengan ungkapannya: “Sungguh pendapat ini telah mendorong sikap pesimis seluruh manusia dari rahmat Tuhan dan telah menempatkan orang yang memiliki keutamaan dan seorang pendosa dalam satu level dengan mengatakan bahwa seluruhnya akan kembali kepada ketiadaan (ex nihilo) dan pendapat yang sedemikian itu merupakan kesalahan fatal yang tak dapat di tolerir”.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Ibnu Thufail telah mengambil sikap antipati terhadap pemikiran al farobi dan telah menolaknya secara global jika tidak bisa di katakan secara parsial, maka merupakan pernyataan yang tidak logis untuk mengatakan bahwa pemikiran Ibnu Thufail merupakan kepanjangan tangan dari pemikiran Al Farobi sekalipun ia telah membaca karya-karya Al Farobi maka itu tidak lain merupakan pembacaan kritis ( qiroah annaqidh ).
Adapun Ibnu Bajah ia bukan termasuk penduduk Andalusia dan Ibnu Thufail telah mengklaim bahwa Ibnu Bajah bukanlah orang yang lebih cerdas dan lebih mempunyai pemikiran cemerlang di banding dirinya karena ia terlalu di sibukkan oleh dunia dengan memperbanyak dan mengumpulkan harta benda sampai dengan kematiannya dan ini bersebarangan dengan upaya untuk sampai kepada pengetahuan level tertinggi yang dalam redaksi Ibnu Thufail di sebut sebagai level orang-orang yang memperoleh kebenaran (maraatib uuli asshidq).
Karena itu Ibnu Thufail menyebut Ibnu Bajah hanya sampai pada fase filosuf pemikir saja (Ahl Annadhar ) yang bisa di capai dengan pengetahuan aksiomatik dan penalaran rasio dan itu hanya merupakan fase pertama ( al marhalah al ula ) bukan merupakan fase tertinggi yang di sebut Ibnu Thufail sebagai fase Ahl al wilayah yang merupakan puncak cita-cita Ibnu Thufail sekalipun ia juga berpendapat bahwa fase aksiomatik-rasional bisa mengantarkan pada kebenaran argumentasi namun ia menyebutnya sebagai fase permulaan saja sampai kemudian ia menolak rasio sebagai dasar pengetahuan sejati.
Adapun tentang Ibnu Sina , Ibnu Thufail telah di buat kagum olehnya karena dengan ketajaman metode rasionalnya ia berhasil melangkah dan memberikan karakter pada fase atau level uuli ashidq sekalipun ia tetap menganggap Ibnu Sina bukanlah orang yang telah menceburkan diri, menghirup dan merasakan manisnya fase tersebut. Ini setali sekelindan dengan pernyataan Baron Carodevo bahwa Ibnu Sina mempelajari sufisme dan mistisisme hanya sebatas sebagai obyek kajian tematik tapi tidak sampai pada tataran praksis, sekalipun kekuatan nalarnya telah membuatnya mampu untuk memberikan karakteristik pada fase tersebut.
Inilah yang telah menempatkan Ibnu Sina setingkat dengan Ibnu Bajah pada fase rasional-aksiomatik akan tetapi Ibnu Sina telah mampu selangkah lebih maju dalam karakterisasi persoalan metafisika dengan sedemikian teliti dan indah, dan pada ranah inilah sisi kekaguman Ibnu Thufail kepada Ibnu Sina walaupun ia belum sampai pada fase ma’rifat yang di inginkan Ibnu Thufail yang berbeda dengan fase rasional-aksiomatik dan merupakan fase intuitif-experimentatif (tadhawwuq), penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah) seperti yang di sebutkan dalam pernyataan Ibnu Thufail:
“Jangan kalian duga bahwa filsafat yang telah sampai kepadaku lewat karya-karya Aristoteles, Abu Nasr Al Farabi dan buku Asyifa’ Ibnu Sina dapat memenuhi tujuan yang aku dambakan, bahkan tak ada satupun yang termuat dalam karya-karya ahli Andalusia yang dapat memuaskanku”
Adapun asumsi sebagian penulis tentang kesamaan roman filsafat Ibnu Thufail dengan kisah karya Ibnu Sina dapat terpecahkan jika kita mau mencoba memisahkan kisah simbolis Ibnu Sina dari simbol-simbol yang meliputinya maka akan kita dapati bahwa itu hanya merupakan karya yang mempunyai arti biasa yang dapat di tulis oleh semua orang. Dari sudut pandang ini dapat kita simpulkan bahwa Ibnu Thufail mempunyai pendapat dan pemikiran yang mandiri dan tidak mengekor kepada Ibnu Sina dan ia menganggap bahwa pencapaian Ibnu Sina hanya merupakan suatu fase dari fase-fase pengetahuan yang bukan merupakan esensi pengetahuan.
Adapun tentang Al ghazali Ibnu Thufail berpendapat dengan pernyataannya “ tak di ragukan lagi bahwa Syeikh Abu hamid ( Al ghazali ) termasuk orang yang telah merasakan puncak kebahagian dan telah sampai kepada fase termulia dan kudus ( fase ulu asshidq atau pengetahuan sejati dalam konteks nilai pengetahuan ) akan tetapi terlepas dari apresiasi Ibnu Thufail terhadap Al ghazali kalau kita telaah dan bandingkan lebih jauh antara pemikiran filsafat Ibnu Thufail dan Al Ghazali akan kita dapati perbedaan yang cukup mencolok terutama sikap mereka terhadap fase aksiomatik-rasional.
Di satu sisi al ghazali menolak dengan tajam fase tersebut dan menganggap bahwa penalaran rasio tidak dapat mengantarkan seseorang kepada hakekat dan keyakinan, dan pernyataan Ibnu Thufail dalam roman filsafatnya terutama ketika menggambarkan tentang fase pertama ( aksiomatik-rasional ) sangat kontra produktif dengan pendapat Al ghazali tersebut karena di situ Ibnu Thufail masih mengakui eksistensi penalaran rasio sebagai metode mencapai pengetahuan yang merupakan fase pertama yang harus di lewati untuk mencapai pengetahuan sejati akan tetapi lebih dari itu Ibnu Thufail masih mengakui Al ghazali sebagai orang yang telah mencapai esensi pengetahuan yang luhur.
Dari penjelasan yang telah lewat dapat kita simpulkan dengan tegas bahwa Ibnu Thufail merupakan filosuf orisinil yang independent dan mandiri dalam pemikiran-pemikirannya dan ia memiliki metode tersendiri dalam upaya mencapai esensi pengetahuan dan ini di tegaskan lagi dengan pernyataannya tentang karyanya “ karya ini mengandung penjelasan-penjelasan yang tidak di dapatkan dalam sebuah buku dan merupakan ilmu yang tersimpan yang tidak di terima kecuali oleh orang-orang yang telah makrifat kepada Tuhan dan tidak di tolak kecuali oleh orang-orang yang tertipu”
Filsafat Ibnu Thufail
Filsafat Ibnu Thufail secara ringkas sesungguhnya ingin menyatakan bahwa seorang manusia yang mempunyai pikiran yang cerdas dan memiliki kesiapan secara natural memungkinkan untuk sampai kepada suatu pengetahuan secara gradual dari suatu yang indrawi kepada suatu yang rasional atau dari suatu yang tak di ketahui (majhul ) menuju suatu yang di ketahui ( ma’lum) sampai kemudian menuju ke pembentukan pengetahuan yang bersifat metafisika , dan kemungkinan itu tetap ada sekalipun ia hidup di habitat yang terisolir dari manusia tanpa bantuan bahasa, tradisi, agama dan budaya yang mewarnainya.
Dan itulah tema yang ingin di tunjukkan dalam kehidupan hay bin yaqdhan dalam keterisolasirannya yang total sejak kelahirannya , ini berbeda dengan Ibnu Sina dan Ibnu Bajah yang berpendapat bahwa pemikiran tentang hal-hal metafisika merupakan hasil dari pembelajaran, studi, dan inteletualitas yang berarti mensyaratkan bagi orang yang mencapai pengetahuan tersebut untuk hidup dalam habitat manusia.
Ssesungguhnya Ibnu Thufail dalam karyanya tersebut ingin menawarkan apa yang dalam diskursus filsafat di sebut sebagai epistemologi, epistemologi sendiri sebagaimana tersebut dalam wikipedia berasal dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, sumber-sumbernya serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan yang secara singkat berarti juga teori pengetahuan. adapun di sini penulis hanya akan mencoba memfokuskan diri pada sumber-sumber pengetahuan yang merupakan tema sentral dalam roman filsafat Ibnu Thufail.
Roman filsafat Ibnu Thufail ingin menjelaskan bahwa sumber-sumber pengetahuan yang hendak di capai seorang manusia setidaknya ada tiga meliputi indrawi, akal atau rasio dan intuisi( hati) , adapun yang pertama yaitu indrawi meliputi panca indra yang lima yaitu penglihatan, pendengaran, perasam pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa , bau-bauan dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna maka di sinilah di butuhkan sumber pengetahuan yang kedua yaitu akal atau rasio yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek (mungkin kisah tentang tiga orang buta yang termasyhur itu dapat membantu anda memahami konsep ini).
Selain ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang di pahaminya dan di amati oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi.akan tetapi akalpun masih bersifat terbatas misalnya akal tidak mampu mengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta akan sangat berbeda dalam melihat realitas kenapa amr qois ketika memandang rumah laila akan memiliki makna yang berbeda di banding orang lain di sinilah di butuhkan sumber pengetahuan yang lain yang ketiga adalah intuisi (hati) yang menurut Ibnu Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa (tazkiah annafs/ riyadhah ruhiyah) yang sering dicapai oleh para ‘urafa dan bentuk tertinggi dari pencapaian intusi ini adalah wahyu yang di khususkan sebagai status kenabian.
Di roman filsafatnya Ibnu Thufail juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khowash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik (kasyaf) dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.
Akhirnya marilah kita mempertimbangkan bagi adanya epistomologi islam yang lebih holistic di tengah-tengah paham rasionalisme, empirisisme, dan intusisme yang hanya melihat pengetahuan dari satu wajah, di tengah tengah intelektualitas yang kering spiritulitas atau spiritualitas yang jauh dari intelektualitas.
Reference
1.Al Muslimun Wa al Ilmu Al hadist, Abd Arroziq Naufal
2.History Of The Arabs, Philip K. Hitti (Terjemah: R. cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi )
3.Dictionary of Islamic Philosophical Terms (Pdf)
4.www.muslimphilosophy.com
5.Menggali Makna dalam Roman Filsafat ‘Hayy bin Yaqdhan karya Ibnu Thufail (artikel/resensi buku oleh noufal)
7.falsafah ibn tufayl, DR.Abdul halim mahmud (pdf)
8.wikipedia
http://mezbah.blogspot.com/2008/01/ibnu-thufail-dan-roman-filsafatnya.html